Perempuan Berlesung Pipit

"Pertemuan dengan jodoh terindah, selalu dimulai dengan niat yang sungguh-sungguh. Bahkan, meskipun kita belum memiliki calon istri. Kalau kita berniat menikah, insaya Allah jalan jodoh akan dibukakan dengan sangat mudah. Segalanya tergantung dari niat kita masing-masing."
PACAR KESAYANGAN

Nama saya Indra. Ketika itu saya masih belia 25 tahun. Saya punya pacar yang saya cintai. Pacar saya, seorang perempuan istimewa. Dia berasal dari keturunan ningrat kraton, darah biru. Sangat cantik. Bekerja di perusahaan bonafid di Jakarta. Namanya Hani. Karena dia cantik, maka sangat potensial untuk 'diambil orang'. Wajarlah kalau saya sangat protektif kepadanya. Mungkin lebih gila lagi hingga sampai taraf posesif.

Untungnya, selama pacaran Hani termasuk cewek setia. Tidak neko-neko. Lebih-lebih dengan keadaan status sosial kami yang jauh berbeda. Secara finansial, saat itu saya sudah mapan. Walaupun pekerjaan saya sebagai makelar mobil bekas, saya sudah punya rumah, mobil, dan beberapa aset kekayaan. Status sebagai orang kebanyakan saja yang membuat saya minder terhadap pacar.

Saya bukan bangsawan. Bukan priyayi atau memiliki trah keraton. Selain itu, saya juga tidak sekolah tinggi. Saya hanya lulusan D-3. Sudah malas meneruskan kuliah lagi. Otak saya tidak terlalu nyantol untuk urusan pelajaran dan teori. Semua itu sering membuat saya frustasi berkepanjangan.

Lebih-lebih kalau saya tahu Hani pergi ke luar kota dengan kawan lelakinya. Meskipun untuk urusan kantor, tetap membuat saya khawatir. Resah, gelisah, sampai membuat saya stres. Cinta yang berlebihan dan tidak sehat. Pacaran empat tahun masih saja bikin saya cemas.

Sudah beberapa kali saya mengajak Hani menikah. Selalu saja ditolak. Alasannya, Hani ingin mengejar karier dan merampungkan studi S-2nya. Saya harus terima, meskipun dengan sedikit tidak sabar. Penjelasan saya menikah tak akan menghalangi karier dan studinya, ternyata ditolak Hani.

Rasa posesif saya makin menjadi-jadi. Cemburuan dan curiga berlebihan. Kekhawatiran Hani akan diambil orang jauh lebih besar dibanding cinta yang seharusnya.

Siapa sih yang tidak gerah kalau dicemburui terus menerus? Mana ada orang yang senang dicurigai berlebihan?

Itulah yang terjadi pada saya terhadap Hani. Pada satu kesempatan, saya dan Hani bertengkar hebat. Hani marah besar. Rupanya, kejengkelan demi kejengkelan Hani yang semula kecil-kecil meledak sontak saat itu. Ketidakbahagiaannya. Sikap protektif saya yang berlebihan. Kontrol saya pada setiap kesempatan. Masih banyak lagi yang diungkit saat pertengkaran.

Sebenarnya saya sadar. Namanya harga diri lelaki. Saya balas marah dan menuduhnya mengada-ada. Pertengkaran hebat tidak bisa diselesaikan. Hani memilih putus. Saya tercengang. Tidak menyangka kata itu keluar dari mulutnya.

Saya memilih mundur saat itu. Saya membiarkan dia reda dari kemarahannya. Ternyata saya keliru. Ketika saya menanyakan kembali keputusannya, Hani mengatakan keputusannya final. Dia tidak mau kembali kepada saya. Jangan ditanya, betapa saya frustasi dengan keputusan Hani. Empat tahun pacaran kok bisa-bisanya putus? Dengan tidak baik-baik pula. Pastilah rasanya jengkel luar biasa. Kecewa. Marah. Merasa dikhianati. Tidak percaya pada perempuan.

Saat itu, rasanya dunia sudah kiamat bagi saya. Tidak ada lagi mimpi indah yang menguatkan hati saya. Cinta saya yang besar pada perempuan, ternyata tak membuatnya bertahan di sisi saya. Saya tetap kehilangan dia.

UNDANGAN

Begitu saja, saya jadi 'pengelana'. Menghambur-hamburkan uang yang saya peroleh selama bertahun-tahun. Berusaha gigih untuk mengambil cinta Hani kembali. Sayangnya, Hani tetap bersikukuh tidak mau. Saya semakin frustasi.

"Jujur saja, Mbak Ari.... Saya bukan orang yang religius. Saya dibesarkan di lingkungan yang tidak terlalu peduli dengan agama. Saya benar-benar gila. Tiap malam keluyuran ke tempat-tempat hiburan. Minum-minum. Mentraktir teman-teman sampai puas. Berusaha mencari 'sosok-sosok' cantik untuk menggantikan Hani, tapi saya tidak menemukannya."

Begitulah pengakuan Indra, sesaat setelah bercerita.

Lalu, apa yang terjadi kemudian?

Saya benar-benar hancur. Patah hati. Hancur karier yang sudah saya bangun bertahun-tahun. Banyak order dan permintaan pelanggan yang tidak bisa saya penuhi. Akhirnya mereka pindah ke makelar lainnya. Saya pun makin ditinggalkan. Tabungan makin menipis. Uang makin sedikit. Sementara saya masih kecewa berat.

Teman-teman sempat mengenalkan saya pada beberapa orang perempuan. Mereka kelihatannya cukup cantik dan baik-baik. Nyatanya..... oh Tuhan saya masih terpikat pada sosok Hani. Bagi saya tidak ada perempuan istimewa, seperti dia.

Baru tiga bulan saya putus dari Hani. Ternyata dia telah menyedot dan menguras energi batin saya. Menghabiskan banyak karier dan tabungan saya. Di saat yang tidak tepat itulah, undangan Hani datang.

DIA MENIKAH

Luka hati saya semakin berdarah. Kegilaan saya makin parah. Entah kenapa, diam-diam ada yang menelusup di hati saya. Kalau dalam waktu tiga bulan, dia sudah menyerahkan undangan pada saya.... Lantas, di manakah cintanya pada saya selama empat tahun ini? Apakah ia benar-benar mencintai saya? Bukankah urusan pernikahan tidak secepat membeli baju?

Oh, Tuhan...!

Kalau Hani benar-benar mencintai saya, tentunya tak semudah itu dia mengambil keputusan menikah. Sementara dulu, berulang kali saya mengajaknya menikah, tetapi selalu ditolaknya.

Tiba-tiba saja saya tertunduk lemas di salah satu kursi di rumah saya. Saya merasa dikhianati. Saya yakin sesungguhnya Hani tidak benar-benar cinta kepada saya. Saya merasa penolakan-penolakannya atas ajakan pernikahan saya, hanyalah alasan untuk berpisah dari saya. Mungkin. Itulah yang terjadi. Toh, saat menikah dengan lelaki lain itu, Hani juga belum menyelesaikan S-2nya.

Lalu bagaimana dengan saya? Apa lagi yang harus saya tunggu dari Hani?

TIDAK ADA.

Tidak sedikit pun tersisa. Dia akan berbahagia dengan lelaki lain.

Haruskan saya meratapi diri dengan menghabiskan masa mudah saya? Sementara dia tidak sedikit pun peduli?

IBUNDA

Saya jarang pulang ke rumah orangtua. Lebih-lebih setelah saya mandiri. Hanya kalau ada keperluan besar, misalnya ada kondangan atau hajatan lain, baru saya pulang. Meskipun setiap hari saya menelepon ibunda saya. Entah kenapa, saat itu saya ingin pulang. Bertemu Ibunda.

Seperti biasanya, ibunda saya tak banyak bertanya ini itu ketika saya datang. Saya pun bebas tidur nyenyak sampai sore. Selepas mandi, baru saya makan dan ngobrol dengan Ibunda.

"Ibu wis dengar apa yang terjadi. Ya wis tho Le, bukan jodohmu. Cari saja yang lain. Trah ningrat juga berat buat kamu."

Begitulah kata Ibunda. Entah kenapa, itu membuat saya lega. Mungkin Ibunda mendengar dari adik saya yang tinggal di rumah saya karena kuliah. Saya masih tidak tahu apa yang harus saya lakukan.

"Bekerjalah seperti biasa. Nanti jodoh kamu akan datang sendiri," nasihat Ibunda.

Benar saja. Sejak kepulangan ke rumah orangtua, saya kembali bekerja giat. Tanpa seorang perempuan. Tak terpikir lagi untuk pacaran. Malas. Pacaran empat tahun tahunya dia menikah sama lelaki lain. Yang benar saja! Sudah capek hati empat tahun, tahunya tidak jadi menikah! Oooh.... tidak!

NUANSA HITAM PUTIH

Setiap waktu luang, saya habiskan hang out bersama teman-teman. Kadang-kadang saya lebih suka mengikuti touring sepeda motor dengan klub. Kebiasaan itu masih terus berlangsung. Mungkin akan terus berlangsung kalau saya masih memiliki teman-teman.

Sayangnya, lama kelamaan teman-teman saya yang asyik buat hang out satu persatu melepaskan status lajangnya. Mulailah satu persatu menikah mendahului saya. Tahu-tahu, saya merasa panik.

Memang saya tidak kehilangan mereka. Setiap kali saya bisa main ke rumah mereka. Namun karena keberadaannya sudah 'beristri', saya tidak bisa lagi asal datang. Ajakan saya untuk pergi seperti saat masih lajang, juga sering ditolak. Dengan alasan ada acara dengan istri atau keluarga.

Saya mulai merasa kesepian. Malas keluar dari rumah, tapi bosan juga. Benar-benar menjengkelkan. Saya juga masih malas untuk pacaran lagi. Terus berharap menemukan sosok yang seideal Hani. Meskipun beberapa kali dikenalkan perempuan, saya juga tidak cocok.

"Bayangkan, Mbak Ari. Empat tahun pacaran, sampai umur 29 tahun tidak jadi nikah. Menghabiskan energi gara-gara susah ditinggal pacar, tahu-tahu saja umur sudah 35 tahun. Kalau saya tidak pacaran dan menikah dari awal.... hmm, bisa jadi anak saya sudah besar...."

Adik saya menikah duluan. Saya semakin merana. Apalagi kalau di tengah keluarga besar. Terutama saat lebaran atau acara hajatan. Saya seperti orang yang bersalah, karena belum menikah. Sepertinya ada yang tidak beres pada diri saya. Setiap orang memandang, seolah-olah saya telah melakukan kesalahan besar.

"Apa kamu tidak bisa cari perempuan, In? Apa Paklik saja yang carikan kamu istri? Ingat lho, kalau tidak kawin bukan umatnya Rasulullah!"

Masih banyak bla... bla... bla... yang lainnya dari kerabat di keluarga besar saya. Itu kenapa kalau tidak dipaksa ibunda, pasti saya malas datang. Benar-benar sengsara!

Lalu saya terpikir, apa saya akan begini terus? Lontang-lantung tidak jelas. Dengan pekerjaan yang tidak ada jaminan. Bagaimana akan mengurusi anak istri? Apalagi biaya hidup di Jakarta makin mahal saja.

Tidak tahu kenapa. Meskipun rasa bosan melajang melanda, saya masih pikir-pikir untuk menikah. Belum lagi menghadapi urusan pendidikan anak-anak nanti. Aduuuh, tahu-tahu saja ada sejuta alasan di benak saya untuk tidak siap menikah.

Saya bertanya-tanya pada beberapa orang yang saya temui dan belum menikah. Rata-rata lelaki lajang yang sudah bekerja dan belum menikah, selalu bilang belum siap. Takut tidak bisa mengurusi istrinya. Kasarnya saja, hidup sendiri dengan penghasilan segitu saja masih kurang. Bagaimana mau menghidupi anak orang?

Begitulah lebih kurang pendapat diantara mereka. Saya paham dan menerima. Alasan saya belum menikah, salah satunya karena itu. Selain masih berharap ada perempuan yang sesempurnya Hani.

Waktu terus berlalu. Saya semakin menua. Bukannya cepat-cepat memutuskan menikah, malah sibuk memikirkan hal tidak jelas. Makin matang usia malah tambah perhitungan. Semakin lama pula saya untuk menikah. Sementara, ibunda saya mulai bosan mengingatkan saya untuk menikah.

Sebenarnya, saya juga sangat ingin menikah dan punya keluarga. Selalu saja menguat pertimbangan akal dan logika saya. Tentang tanggung jawab dan konsekuensi menikah. Semuanya telah meruntuhkan niat dan tekad saya untuk menikah. Lebih-lebih karena saya tidak punya pacar. Tidak ada yang mendesak-desak untuk dinikahi.

SHINSE BIJAK

Pada suatu hari, Ayah saya sakit agak keras. Beliau fanatik dengan pengobatan China. Tidak pernah maun dibawa ke dokter. Dokter secanggih apapun, pastilah tidak mempan untuk sakit Ayah. Kalau dibawa ke shinse, baru dikasih ramuan yang harganya murah-meriah saja, tidak lama pasti langsung sembuh. Aneh, tapi itulah ayah saya.

Saat mengantarkan ayah saya, saya bertemu seorang shinse. Shinse ini akan bertugas menggantikan shinse sebelumnya. Sambil menunggu waktu pergantian, saya sempat berbicara dengannya. Sedikit ngobrol-ngobrol tentang profesi dan kesehariannya.

Merasa cocok, kami pun berbagi cerita. Saya menyinggung-nyinggung tentang keinginan saya menikah dan problemnya. Yang tidak saya duga, shinse itu malah tertawa dan menepuk-nepuk bahu saya.

"Menikah saja. Kamu tahu, Indra, orang yang punya penghasilan sejuta sebulan. Cukup untuk satu orang, tetap cukup untuk dua orang maupun untuk satu keluarga. Kalau tidak percaya, buktikan saja. Menikahlah! Itu bisa membuat kamu lebih tentram!"

Saya menatap shinse dengan tidak percaya. Logika mana yang bisa dipakai sejuta untuk satu orang, tetap bisa cukup untuk dua orang ataupun keluarga? Yang benar saja! Saya jelas sangat ragu-ragu dengan ucapan shinse tersebut. Untuk membantahnya, saya masih punya etika dan menghormati orangtua.

Selepas itu saya tidak pernah membahas pernikahan. Saya tetap berusaha mencari jodoh. Benar-benar mencari. Nyaris putus asa. Tidak ada harapan untuk menemukannya.

Kesal. Jengkel. Marah. Kecewa. Sakit hati.

Saat saya serius mencari jodoh, sepertinya nasib mengolok-olok saya. Beberapa kali dikenalkan dengan perempuan. Kelihatan di awalnya baik-baik dan mau serius dengan saya, ujung-ujungnya ada yang tidak beres. Entah sebenarnya punya pacar, tidak serius dan sebagainya.

Saya jadi malas. Tidak terlalu peduli lagi soal jodoh. Lebih baik saya konsentrasi pada pekerjaan. Bekerja keras, menabung sebanyak-banyaknya. paling tidak, untuk persiapan kalau saya menikah dan pekerjaan tak lagi ramai.

PELANGGAN SETIA

Saya tidak tahu sudah beberapa kali pelanggan ini, sebut saja Pak Abdullah, melakukan transaksi pembelian mobil di tempat saya. Yang jelas, dia selalu puas. Beliau akan merekomendasikan saya jika ada keluarga besar atau kenalannya membeli mobil second.

Begitu pula kali ini. Saya diminta datang ke suatu alamat membawa mobil yang akan dibeli oleh keluarga Pak Abdullah. Tanpa banyak tanya, saya menyanggupinya. Pas pembicaraan harga mobil dan lain-lain, saya duduk dengan Pak Abdullah di ruang tamu. Sedangkan calon pembeli sedang mencoba mobil. Saya dan Pak Abdullah begitu serius membahas soal harga. Tiba-tiba saja seorang wanita masuk lewat ruang tamu setelah mengucapkan salam.

Saya benar-benar tak peduli, selain menjawab salam. Setengah berbisik Pak Abdullah berkata pada saya.

"In, anaknya baik tuh... jadikan istri saja!" serunya.

Spontan saya menoleh. Sosok perempuan itu hanya bisa saya lihat dari belakang. Saya menatap Pak Abdullah dengan sedikit protes. Memberi tahu kok terlambat. Kemarin-kemarin kek, biar saya sedikit persiapan bertemu wanita. Lihat saja, saat itu saya hanya dengan jeans lusuh dan t-shirt, pakai sandal jepit pula!

"Nanti saya kenalkan!" serunya.

Begitulah. Perkenalan singkat. Namanya Melona. Jujur saja, saya tidak ada perasaan sama sekali. Tidak ada ketertarikan. Jauh dari standar perempuan yang akan saya jadikan istri. Saya hanya senyum-senyum menolak. Tak peduli ketika Pak Abdullah masih sibuk mempromosikan 'keponakan'nya.

Usai transaksi, saya anggap usailah sudah urusan saya dengan Pak Abdullah. Saya benar-benar lupa dengan perempuan pemilik lesung pipit di dua pipinya. Wajahnya putih bersih, tapi tidak cantik. Saya ini... gubrak, gampang lupa sama perempuan yang tidak cantik. Tidak ada pula kontak dengan Melona.

JALAN JODOH

Suatu hari saya harus mengantarkan mobil pesanan ke luar kota, di propinsi yang berbeda. Saya menyanggupinya. Sekaligus mau pulang ke rumah orangtua. Eeh... namanya jual beli ini karena Pak Abdullah, dia pun tahu jadwal saya mengantarkan mobil. Pak Abdullah mengatakan Melona juga mau pulang ke rumah orangtua bersama adiknya. Dia minta saya untuk sekalian membawa Melona.

Saya bersedia. Pak Abdullah tidak keberatan kalau saya ke rumah orangtua dulu untuk istirahat. Baru mengantarkan Melona dan mobil ke pembeli.

Ya begitulah. Saya dan Melona tak banyak bicara selama di perjalanan. Adik lelakinya, duduk manis di samping saya. Sementara Melona sepertinya sudah lama tidur di jok belakang.

Esok paginya, jam tujuh pagi sampai di rumah. Saya memberitahukan kepada ibunda saya tentang siapa dua anak itu. Lalu saya tidur nyenyak karena capek dua belas jam menyetir. Saya tidak tahu apa yang terjadi antara Ibunda dengan Melona dan adiknya. Saya terbangun sekitar jam sebelas.

Usai mandi dan belum berganti pakaian yang lengkap, Ibunda menghampiri saya dan berkata, "Dia jodoh kamu, In. Sudah pastikan saja, kapan kamu mau melamarnya?"

Sontak saya bingung kan. "Maksud Ibu siapa?"

"Itu, perempuan yang kamu bawa!"

Saya ingin protes. Ibunda menepuk-nepuk bahu saya dan pergi. Saya hanya diam. Protes saya sepertinya masih berlanjut. Ketika mengantar Melona dan adiknya itu, tiba-tiba saja orangtua Melona mengatakan singkat. "Mas Indra, mbok ya anak saya Melona dijadikan istri, Nak!" seru bapaknya.

"Betul, Nak. Itu juga kalau Nak Indra belum punya calon. Melona belum ada ketemu jodohnya," timpal ibunya.

Aduuuh, mau mati rasanya!

Begitulah. Tanpa proses berbelit karena semua orangtua mendukung, saya pikir mungkin dialah jodoh saya. Tanpa banyak kesulitan, akhirnya saya dan dia menikah. Meskipun dalam hati saya bingung. Saya tidak cinta dia. Tidak kenal dia dengan baik. Terlebih saya masih cemas bagaimana membiayai rumah tangga saya.

Seperti keajaiban juga. Yang dikatakan oleh shinse, ternyata benar. Penghasilan saya boleh jadi tak bertambah drastis dari saat saya lajang. Dengan adanya istri, kok ya tetap sama rasanya. Tidak berkurang dan tidak kekurangan. Yang jelas, hidup saya lebih teratur. Lebih terkontrol. Hati lebih tenang.

Kalau saya mau pergi, otomatis mesti memberitahu dia dulu. Soalnya istri saya itu, kalau saya lupa kasih tahu dan tidak pulang-pulang, dia tidak mau SMS atau telepon tanya di mana saya. Dia akan terus menunggu di ruang tamu, meski dengan terkantuk-kantuk nyaris tertidur.

Gila, istri saya baik sekali dan sangat setia. Jadinya, saya tidak enak sendiri kalau pergi tanpa pamit. Selain itu, dia membuat saya kembali kepada Allah. Ya, biarpun shalat masih bolong-bolong, paling tidak saya sudah mulai shalat lagi. Mau ikut mengaji. Soal makan, tidak perlu bingung sudah ada yang menyiapkan.

Apalagi ya kelebihannya? Banyak. Sekarang hati saya juga lebih tenang. Tidak ada pikiran macam-macam terhadap perempuan. Hidup juga jadi lebih berkah. Ketakutan saya akan pernikahan dan tidak bisa menghidupi anak istri, tidak terbukti.

Ketika istri saya hamil, saya sudah kocar-kacir dan khawatir. Namanya wiraswasta yang tidak menentu penghasilannya. Saya khawatir karena dokter mengultimatum istri saya harus melahirkan dengan caesar. Panggulnya terlalu sempit meskipun posturnya cukup standar. Saya sudah berpikir dari mana mendapatkan duit banyak untuk caesar.

Ternyata benar, Allah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Beberapa hari sebelum kelahiran anak saya, kawan dari Amerika datang. Dia senang sekali bertemu saya. Tahu istri saya hamil, begitu saja dia meninggalkan uang seribu dolar. Katanya untuk membantu kelahiran istri. Padahal saya tidak cerita apa-apa. Saya sudah menolaknya, tapi dia tidak mau. Katanya, dia mestinya datang waktu saya menikah, tapi tak bisa. Sekarang kalau saya menolaknya, berarti saya bukan kawannya lagi.

Begitulah. Ternyata proses caesar istrinya pun mudah. Biayanya tidak sebesar yang saya pikirkan. Sungguh, sejak itu saya meresa menyesal kenapa dulu menunda-nunda menikah dan tidak percaya bahwa rezeki itu selalu saja ada jalannya.

Yang paling saya sesali adalah, kenapa saya dulu sampai pacaran segala. Mestinya begitu Hani tidak mau saya ajak menikah, ya saya harus meninggalkannya. Bukannya menggantung diri, toh akhirnya tetap tidak menikah. Terlalu banyak dosa pula. Soalnya setiap ketemu, pikirannya nafsu melulu. Mudah-mudahan Allah mau mengampuni dosa-dosa saya waktu saya tidak mengerti. []

JODOH CINTA CORNER

1. Pacaran = Nafsu

Itulah yang terjadi dalam pacaran. Nafsu ingin menguasai pasangan kita. Nafsu ketidak percayaan. Sebab tidak ada ikatan sah yang diakui masayarakat luas dan agama. Ditambah dengan nafsu berahi yang sering tidak terkontrol.

Tidak heran kalau orang pacaran banyak yang kebablasan. Sudah pasti seperti sabda Rasulullah Saw., bahwa kalau lelaki dan perempuan berdua-duaan bukan dengan muhrimnya, maka yang ketiganya adalah setan.

Setan akan terus menggoda dan menjerumuskan orang pacaran supaya berbuat zina. Perbuatan terkutuk yang membuat banyak anak terlahir karena angkara murka. Mereka akan lebih patuh pada perintah setan daripada mendengar kalimat Allah Swt.

2. Deadline Patah Hati

Kalau pacarannya sudah lama dan rasanya kita cinta mati sama sang pacar, rasanya tidak bakalan usai. Yang lebih buruk, patah hati sering merusak karier dan kepribadian kita.

Cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan memberikan deadline patah hati. Setelah selesai, berjalanlah seperti biasa. Ingat, banyak perempuan lain yang lebih berharga untuk diperjuangkan. Tidak ada gunanya menangisi perempuan yang meninggalkan kita. Tidak mudah, tapi dengan kesibukan bisa lebih cepat.

Ketika patah hati, jangan menyendiri. Cari teman-teman dan lingkungan yang baik. Tujuannya agar tidak terjerumus pada kesesatan. Saat saya patah hati, meskipun hura-hura di tempat hiburan, saya sadar apa yang boleh saya lakukan. Teman-teman saya 'baik-baik'. Dugem sampai pingsan, ayo saja, tapi alcohol, drugs, free sex, jauh-jauh lah! Kita sendiri yang rugi.

3. Tidak Apriori

Biasanya, lelaki dan perempuan---kalau sudah punya 'sosok idola' yang ingin dijadikan pasangan hidupnya, manteng saja di sosok yang seperti itu. Padahal, yang kita anggap baik belum tentu baik buat kita. Tidak perlu apriori kalau dikenalkan atau dijodohkan dengan orang yang tidak sesuai dengan kriteria kita. Istri yang wajahnya biasa saja; tapi baik, cinta, setia, dan shalehah jauh lebih berharga dan membuat hati tenang, daripada istri cantik yang membuat hati jantungan terus karena takut diambil orang.

4. Niat

Kalau mau menikah, meskipun belum punya calon, luruskan dan kokohkan niat. Kalau niat saja tidak ada, bagaimana mau menikah? Istilahnya, mau pergi ke sebuah institusi 'rumah tangga', tapi keinginan ke sana tidak ada, bagaimana bisa terlaksanan? Niat harus sungguh-sungguh. Harus ikhlas kalau ingin menikah. Pasti, Allah akan memberikan jalan kemudahan.

5. Tidak Perlu Takut Kekurangan

Setiap orang dijamin rezekinya oleh Allah. Pernikahan tak akan membuat orang miskin atau kekurangan. Seberapapun rezeki yang kita miliki, pasti cukup. Bahkan pernikahan membuat rezeki makin berkah.

Apa saja yang kita nafkahkan pada istri dan keluarga akan dinilai sedekah. Asal sumbernya juga jelas dan halal. Tidak perlu ragu menikah kalau penghasilan tak menentu. Yang penting harus ada niat sungguh-sungguh untuk menafkahi keluarga. Jalan rezeki akan terbukan dengan sendirinya.[]


Kisah ini adalah salah satu kisah inspiratif dari sekian banyak kisah yang diambil dari buku Jodoh Cinta Update yang ditulis oleh Ari Wulandari

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mercon Buaya